Arsip untuk September, 2022

Inkuiri Apresiatif adalah metode problem solving yang ‘optimis’, kebalikan dari sudut pandang problem solving umum, yaitu mencari kesalahan. ‘Mencari kesalahan’ ini sudah jadi sangat natural dan tidak dipikirkan lagi karena orang selalu otomatis bertanya ‘apa’ atau ‘siapa yang salah’, dan langsung mengambil posisi mengkritik. Padahal, seharusnya sebelum mengkritik orang harus bisa mengapresiasi lebih dahulu. Jadi inkuiri Apresiatif membangun melalui apresiasi, alih-alih mengkoreksi melalui pencarian kesalahan / kelemahan.

Teknik Inkuiri Apresiatif ini sewarna dengan teori konvergensi KHD, bahwa semua siswa bukan kertas kosong, melainkan sudah punya karakter sendiri (nilai-nialai sendiri), dan untuk menumbuhkannya, kita perlu menebalkan nilai-nilainya, hal-hal yang baik dari dirinya, sehingga yang ‘buruknya’ menajdi samar. Hal ini sama dengan sudut pandang inkuiri apresiatif, jika kita mengasah nilai-nilai yang baik, dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk bertransformasi, maka hal-hal yang kurang baik akan menjadi tidak relevan lagi.

Ini juga sejalan dengan sudut pandang Living Value Education yang saya jalankan, sudut pandangnya juga menitik beratkan pada menggali nilai-nilai yang terkubur, dan menguatkannya, sehingga seseorang menjadi bernilai dan bermakna.

Banyak aspek dalam pendidikan siswa kita yang masih perlu dibenahi, dan metode IA ini bisa sangat membantu dalam melakukan transformasi, terutama dalam sudut pandang saya saat ini, adalah tentang rasa kurang percaya diri siswa atas dirinya sendiri, yang ada di dalam bawah sadarnya. Tanpa keyakinan bahwa dirinya mampu, sulit bagi siswa untuk belajar, sehingga saya pikir ini sifatnya sangat fundamental dan perlu perubahan segera. Ini bentuk aktualisasi sikap berpusat pada murid, menurut saya. 

Dalam tesis pendidikan Ki Hadjar Dewantara, ada tiga kodrat yang bekerja. Yang satu kodrat diri dari manusia yang belajar (siswa), dan dua kodrat lainnya adalah hal-hal eksternal berupa kondisi material dari karaketeristik lingkungan (kodrat alam) serta perubahan dari kondisi tersebut (kodrat zaman). Seluruh tiga hal ini adalah kodrat, artinya ia bersifat rigid dan bukan sesuatu yang bisa (atau patut) diubah.

Kenyataan dalam dunia pendidikan saat ini adalah kecenderungan untuk membiarkan pembacaan atas situasi-situasi ini tidak masuk dalam suatu dialog; sesuatu yang diwanti-wanti oleh Ki Hadjar Dewantara, termasuk dialog dengan sejarah setempat, dan bahkan situasi kontemporer setempat. Karena saya adalah guru PAI dan Budi Pekerti di sebuah SMK, maka ini adalah pergulatan saya yang utama, yaitu fakta bahwa mayoritas anak-anak saya tidak memilih vokasi tertentu berdasarkan minat dan bakatnya, melainkan karena hanya itu yang tersedia.

Oleh karena itu masalah pertama yang saya hadapi adalah karsa; bagaimana membangun semangat siswa saat dari awal telah ada dissonance antara kodrat diri siswa dengan karakteristik vokasi yang diambilnya, padahal suatu ‘vokasi’ (keterpanggilan) artinya bukan sekedar pekerjaan (okupasi) atau profesi, melainkan suatu panggilan jiwa dimana seseorang bahkan rela tidak mendapatkan imbalan layak demi mengerjakan apa yang sungguh-sungguh ia sukai; ini adalah definisi dari ‘vokasi’. Sementara siswa-siswa ini masih jauh dari ‘melakukan sesuatu yang ia sukai’.

Dan ini membawa saya pada masalah kedua: menjadi tauladan. Segala rantaian masalah yang terjadi selama kbm bisa saya simpulkan berasal dari dissonance di atas, siswa merasakan semuanya sebagai beban; tugas bukanlah sebuah sarana yang bisa digunakannya untuk membangun diri, melainkan apa yang harus dilakukannya untuk menghindari konsekuensi; apakah itu hukuman, nilai buruk atau pernyataan rapor bahwa ia tidak kompeten. Siswa sama sekali tidak menemukan dirinya dan gagal melihat dirinya di dalam proses pendidikan, karena ia bahkan tidak punya waktu untuk belajar menyukai bidang yang ia masukki tanpa ketahui secara mendalam.

Yang saya lakukan selama ini pada siswa melalui sesi-sesi terapi LVE (Living Value Education) — ini adalah metode pembelajaran yang membantu siswa mengenali nilai-nilai positif dalam dirinya — bisa memberi relief secara sesaat, dan menjaga situasi diri siswa untuk tetap di dalam koridor aturan dan kebijakan sekolah, tapi ini tidak bisa menyentuh akar masalah tersebut.

Sehingga munculah masalah ketiga ketika saya tetap mendorong siswa pada arah yang dipilihnya. Banyak dari program-program keahlian ini membutuhkan karakteristik speisifik yang dibutuhkan agar seseorang menjadi ahli di bidang tersebut. Seorang siswa TKJ misalnya, butuh keakraban literasi dan perhatian pada perubahan yang sangat cepat, dan mereka perlu punya kemampuan abstraksi yang kuat. Siswa Akuntansi harus teliti dan punya daya tahan tinggi dalam mengolah data dan melakukan perhitungan. Seorang siswa TBSM harus punya psikomotorik yang kuat, terampil, cekatan dan resourceful. Dan sebagainya. Dan semua ini belum tentu sesuai dengan kodrat diri sang siswa.

Saya sungguh mengharapkan pembelajaran dari kegiatan pendidikan ini, untuk menjawab masalah-masalah tersebut.

Saya tidak lahir di zaman Maria Montessori maupun Ki Hadjar Dewantara. Ada puluhan tahun berselang, dan sedihnya adalah saat menyadari bahwa kegelisahan dan pergulatan pikiran mereka, dan kegelisahan dan pergulatan pikiran saya, masih serupa. Artinya kita, manusia, belum beranjak dari persoalan besar revolusi industri yang telah dua abad.

Sejarahnya, revolusi industri telah memungkinkan pendidikan disebarkan pada kaum miskin, membuka sekolah-sekolah dan pendidikan tinggi yang menjangkau masyarakat luas, dan sebagainya, tapi akses pendidikan ini dibuka dengan intensi untuk menciptakan manusia agar menjadi bagian dari proses manufaktur.

Kita mendidik dalam ‘rombel’ demi produksi masal dan skala ekonomi, dan mengatur mereka semirip mungkin dengan pabrik; bell yang mengatur waktu mereka datang, belajar, istirahat dan pulang, dari mulai bangun pagi hingga sore. Di rumah aturan-aturan berikut menunggu, semenjak mencapai rumah, setelah tugas-tugas rumah, masih ada tugas dan catatan yang tidak juga pernah dipikirkan, dirancang dan diukur dengan baik, apakah akan bermanfaat bagi mereka atau tidak — yang dianggap kurang penting karena sebenarnya anak-anak ini dididik untuk patuh; menjadi komponen industri dan tidak lebih dari itu.

Tidak pernah ada waktu bagi passion atau perenungan, waktu bagi mereka untuk mengapresiasi diri dan kemanusiaan mereka, tapi ketika mereka kehilangan gairah belajar, kita mengeluh dan menyalahkan.

Saya sebagai guru Agama pun diminta untuk ikut berpartisipasi mencari ayat-ayat yang sesuai agar mereka menjadi pekerja yang patuh, punya etos kerja, tidak menyerah, yang tentu saja merupakan ayat yang baik kalau saja tidak dibingkai seolah-olah Allah Swt ingin melihat partisipasi mereka dalam industri, bukan sebagai pengembangan diri, kemudian saya sebagai guru harus menyebutnya sebagai kompetensi, mengaburkan batasan antara kemanusiaan dan industri sehingga seolah-olah keduanya adalah hal yang sama.

Anak-anak ini punya cara dan waktu belajar yang berbeda. Tapi pendidikan massal ini tidak punya waktu untuk itu. Kurikulum pendidikan, entah itu tepat atau tidak, membutuhkan timing yang menjadi bell sekolah, saatnya membuka buku anu, di halaman ini, menyelesaikan soal kesekian, jangan ribut, dan kalau tidak selesai kamu hapal maka artinya kamu tidak kompeten. Tidak layak untuk bergabung dalam industri, karena kamu tidak hapal cara kerjanya.

Jadi sebagai apakah saya harus menjadi tauladan mereka? Bagaimana saya harus membangun semangat mereka? Dan kemana saya harus dorong mereka? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan besar saya sejak lulus menjadi guru yang dipenuhi segala macam teori pendidikan dan menemukan kenyataan dunia pendidikan.

Paling tidak, saya pernah mencoba, 6 tahun lalu ketika mengajar di pelosok Sulawesi, di sebuah desa bernama Sonai. Saya mengajak, siswa-siswa saya – SMP dan SMA – membuat komunitas belajar di alam, dimana mereka belajar fotografi, bahasa inggris dan lingkungan mereka, yang kami lakukan usai pulang sekolah. Tapi saat itu mereka pulang siang, tengah hari, sehingga masih cukup waktu untuk bereksplorasi.

Sesuatu yang sulit saya lakukan sekarang dengan jadwal belajar yang sangat padat di kota industri Karawang ini.

Harapan kedepan tetap pada keyakinan saya, bahwa pendidikan itu harus tetap membawa siswa-siswa saya menjadi manusia seutuhnya, sesuai dengan nilai-nilai dirinya.

Harapan untuk siswa adalah, agar mereka mampu menghidupkan kembali nilai-nilai dalam dirinya, dan menemukan kembali gairah atau passion-nya.

Adanya Kegiatan dan materi yang dapat membantu saya  mengatasi persoalan-persoalan pendidikan yang saya hadapi setiap hari.

Banyak hal yang membentuk saya, ha-hal yang saya alami di dalam dan di luar sekolah. Pada usia 6 tahun saya memulai pendidikan dasar, pendidikan dasar yang saya jalani sambil berpindah-pindah. Sekolah dasar pertama saya jalani di desa Wawontulap; bertempat di pedalaman yang jauh dari kota. Pada tahun kedua saya ikut ayah pindah ke Manado kota, tepatnya di Kalasey, hingga tahun kelima. Tahun terakhir saya kembali ke desa tempat kelahiran, Wawontulap, mengikuti ayah yang mulai sakit.

Hampir seluruh waktu saya di sekolah dasar, hingga awal ayah mulai sakit, saya hanya tahu kebahagiaan. Di sekolah saya ikut kegiatan Kit IPA, dan dokter kecil. Lokasi yang dekat dengan alam membuat saya sangat gemar bereksplorasi, di hutan, di mata air, di gunung dan laut. 

Desa kami adalah desa nelayan, sehingga semua keluarga dan tetangga adalah nelayan. Tapi ayah saya bekerja di parawisata. Sehingga saya sering mengunjungi lokasi-lokasi wisata yang indah. Guru-guru saya di desa mungkin tidak tahu banyak tentang metodologi pembelajaran sehingga mereka tidak memanfaatkan alam sebagai alat pendidikan, tapi guru-guru saya yang di Manado lebih aktif melakukan kunjungan-kunjungan ke situs megalitikum, makam pahlawan, situs sejarah-sejarah mando, monumen, dan ini sangat berpengaruh positif bagi saya. Ini yang justru membuka mata saya atas banyak hal. Pada saat bersekolah dasar di Manado ini saya dikirim lomba kit IPA antar kabupaten, dan ini mendorong saya untuk bereksprimen dan mencintai ilmu pengetahuan. Ini adalah hal-hal positif yang membentuk saya, yang menyulut semangat saya untuk berkompetisi positif dengan teman-teman.

Tapi kemudian sesuatu terjadi pada saat usia saya 11 tahun, yaitu setelah saya lulus. Ayah saya meninggal, dan ada hal besar yang terjadi – yang tidak ingin saya ceritakan di sini – yang akhirnya membuat saya hidup sendiri sejak umur 12 tahun. Ini sangat menghancurkan mental saya. Saya kemudian tinggal dengan keluarga jauh yang asing, bersama sejumlah anak-anak lain yang juga tinggal di situ. Saya sudah terputus dari habitat saya; pernah saya coba pulang ke rumah saya di Wawontulap, hanya untuk menemukan bahwa rumah lama saya sudah jadi milik orang lain dan keluarga saya entah dimana. Pada saat itu, saya sadar bahwa saya tidak lagi punya tempat untuk pulang. 

Saya, walaupun demikian, memaksa diri saya untuk tetap sekolah. Saya harus sekolah, dan tidak ada lagi alternatif yang saya tetapkan untuk diri saya sendiri, selain tetap sekolah. Sehingga saya melanjutkan ke SMP. 

Di SMP, karena latar belakang situasi saya dan ketetapan hati untuk harus bersekolah, saya tidak memperdulikan apapun kecuali belajar, apalagi ada guru yang sangat suka, guru Fisika bernama pak Toni Pusung, yang benar-benar tahu cara menciptakan kelas yang menyenangkan. Karena beliaulah saya kemudian menjadi juara di kelas, sehingga saya mendapatkan Beasiswa dan bisa bersekolah tanpa harus mengeluarkan uang. Ini sangat membantu situasi saya yang sendirian.

Saya mengikuti kegiatan bela diri silat dan memenangkan beberapa kompetisi, sehingga saya mendapatkan beasiswa atlit selama SMP. Sekali lagi hal yang sangat saya syukuri, karena saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan tanpa hal itu. 

Saya lulus SMP dan melanjutkan ke SMA juga dengan beasiswa atlit. Sayangnya, SMA saya tidak punya jurusan Fisika. Saya kembali kehilangan apa yang saya sukai, namun saya tetap melanjutkan belajar saya. Saya masih menjadi juara kelas di SMA, dan di sini saya menemukan sebuah komunitas studi Islam yang saat itu sangat berkesan, karena mereka memperlakukan saya hampir seperti keluarga. Saya seperti menemukan apa yang hilang, dan ini yang mendorong saya untuk mengambil studi Islam.

Lulus dari SMA, saya masuk ke IAIN juga dengan beasiswa yang saya dapatkan karena nilai saya tinggi, status saya sebagai atlit dan keaktifan saya membuat karya-karya Tulis ilmiah. Kemudian saya mengambil S2 di Semarang, juga karena mendapatkan beasiswa setelah lulus tes beasiswa gubernur ‘Cerdas Sultraku’. 

Jadi saya sangat mensyukuri perjalanan trapesium usia hingga saya lulus S2. Sejak tahun 2008 saya sudah mulai mengajar di SD Islamic Center sambil kuliah S1, dan mengajar di SDIT Islam terpadu tahun 2009. Tapi garis mendatar trapesium yang sebenarnya saya mulai sejak lulus S2 tahun 2012, walaupun saya mulai mengajar tahun 2011 di SMPN 1 Puriala, Sulawesi Tenggara.

Karena ingatan saya tentang pak Toni dan bagaimana kelasnya yang indah bagi saya, juga karena pengalaman saya aktif sebagai volunteer di kantung-kantung belajar di Semarang, pengalaman belajar di Kampung Inggris di Pare, Kediri, juga dari pengalaman diskusi-diskusi panjang saya dengan peneliti antropologi Kelli Swazey tentang pluralisme agama di Manado tahun 2007, dimana saya ikut terlibat sebagai volunteer, saya terinspirasi untuk membuat suatu aktifitas kegiatan belajar di alam pada tahun 2014, bagi siswa-siswa saya di SMP dan SMA Puriala.

Trapesium usia saya merefleksikan pada saya bagaimana pengalaman-pengalaman positif selama belajar, pertemuan dengan orang-orang, guru yang inovatif, membuat saya tertular untuk melakukan capaian yang sama. Dan inilah yang mendorong saya, dan menginspirasi saya untuk berinovasi, dan menciptakan perubahan yang berarti di tempat saya mengajar, sekarang.

1. Hal positif adalah pertemuan dengan guru-guru yang out-of-the-box, yang menyelenggarakan kelas yang sangat menyenangkan saya, dan saya merasakan langsung bagaimana pelajaran sang guru menjadi gravitasi bagi diri saya. Hal negatif adalah guru-guru saya di desa yang — tanpa mereka sadari — terlalu statis dan tidak mengeksplorasi pembelajaran. Tapi hal-hal negarif di luar sekolah, yang terjadi dalam hidup saya, membuat hal-hal negatif di sekolah tidak terlalu mengganggu, bagi saya.

2. Rekan-rekan saya, dan tentu saja guru saya, yang membawa imajinasi saya dan memberikan pengalaman menyenangkan bagi saya.

3. Saya tertarik, optimis dan senang. Juga terkesima dengan banyak hal-hal baru yang datang pada saya, atau saya ketahui belakangan.

4. Karena semua momen itu adalah tepatnya apa yang membentuk diri saya seperti sekarang. Pengalaman saya tersebut, adalah siapa diri saya.

5. Pelajaran hidup yang saya temukan adalah bahwa guru yang baik adalah yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang baik, saya membuktikannya bahwa kesan-kesan itu masih kuat membekas, dan bukan hanya membekas, tapi juga membentuk cara saya melihat siswa-siswa saya sekarang.

6. Peran guru adalah menciptakan pengalaman belajar yang bermakna, sehingga menciptakan murid-murid yang tidak mudah menyerah, optimis dan selalu berupaya tanpa terpaksa. 


Nilai dan peran guru penggerak menurut saya.

1. Nilai nilai dalam diri saya yang membantu saya membantu saya menggerakkan murid, rekan guru dan komunitas saya adalah bahwa saya menyukai eksplorasi, pantang menyerah dan saya bersikap positif dalam menghadapi hal hal yang datang pada saya, bahkan yang terburuk sekalipun. Saya meyakini nilai-nilai ini karena pengalaman saya telah membentuk diri saya seperti ini.

2. Selama ini saya telah mencoba berinovasi, mulai dari kegiatan eksplorasi dan belajar di Alam saat saya di Sonai, dan kegiatan Living Value Education yang saya jalankan dan advokasikan pada rekan-rekan guru. Saya juga membantu rekan-rekan yang juga ingin menerapkannya di kelas, untuk menciptakan lingkungan belajar yang berorientasi pada siswa.